Sumatra Barat memang sangat kaya dengan keindahan alamnya. Banyak objek-objek wisata memukau yang bisa kita lihat, apalagi bila kita berkeliling dengan menggunakan kendaraan sendiri. Rasanya, satu atau dua hari tidak bisa kita untuk mengunjunginya satu persatu.
Pekan lalu, dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Singkarak dengan memanfaatkan mobil Innova yang kami sewa dari Dhilla Auto Rental di Padang dengan driver yang sekaligus merupakan guide yang mengasyikkan, penulis benar-benar merasakan suatu kebahagian tersendiri menikmati indahnya panorama alam di sepanjang perjalanan yang ditempuh. Jarak Bukit-tinggi yang hanya sekitar 40 km, penulis jalani cukup lama, karena banyaknya pemandangan yang indah untuk dilihat. Rasanya, waktu yang cukup lama itu terasa begitu singkat.
Dari Jam Gadang yang merupakan maskotnya Kota Wisata Bukittinggi itu, sekitar pukul 09.00 WIB penulis mulai bergerak arah panorama. Disini akan kita saksikan ngarai Sianok yang sering juga disebut Grand Canyon of Indonesia itu dengan latar Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. Udara dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum karena letak kota ini 900 meter di atas permukaan laut, juga menambah nuansa tersendiri bagi kita.
Desir air yang berasal dari anak sungai yang mengalir di dasar ngarai, bagaikan menyimpan misteri masa silam yang memperdengarkan bunyi genta pedati menyisir jalan di dasar ngarai menyisir malam menuju Koto Gadang. Sayang, bunyi genta itu kini hanya tinggal kenangan. Entah kemana menghilangnya pusaka pemilik pedati, kendaraan tradisional yang dulu banyak di alam Minangkabau ini.
Sekitar satu jam kemudian, penulis memutuskan untuk mengunjungi Benteng Fort de Kock yang berjarak sekitar 500 meter dari panorama ngarai Sianok. Cukup banyak perubahan yang terlihat, dimana di areal objek wisata ini, sudah ada pula kuda tunggangan yang disewakan untuk anak-anak. Kita tidak usah kuatir dengan keselamatan anak-anak, karena mereka naik kuda dengan dipandu oleh pemilik kuda masing-masing.
Puas menikmati suasana damai di Benteng Fort de Kock, kita bisa melintas jembatan Limpapeh yang menghubungkan benteng tersebut dengan kebun binatang Taman Puti Bungsu. Disini, kita selain dapat menikmati berbagai ragam binatang, juga bisa melihat kerangka ikan paus yang cukup besar serta berbagai kerangka binatang langka lainnya.
Kerangka-kerangka binantang yang sudah diawetkan itu, diletakkan dalam sebuah bangunan namun tembus pandang karena diberi kaca. Sambil memberi makan gajah atau monyet dengan kacang tanah, kita juga bisa menikmati kicau burung di tengah hiruk pikuk anak-anak yang sedang bermain-main di taman itu.
Tanpa terasa, matahari sudah hampir berada di ubun-ubun. Setelah menikmati nasi kapau di Pasar Wisata yang terletak tak jauh dari kebun binatang, penulis melanjutkan perjalanan menuju Padangpanjang
Hawa dingin masih saja menusuk tulang. Di kota Serambi Mekkah yang juga dikenal sebagai kota hujan ini, kita bisa mampir sejenak di Minangkabau Village (perkampungan Minangkabau), dimana di lokasi ini kita bisa menyaksikan nuansa perkampungan tempo doeloe.
Puas bermain-main disini, penulis lanjutkan perjalanan arah Batusangkar, dan sesampainya di Kubu Kerambil Batipuh, setelah lewat jembatan timbangan oto (JTO), belok kanan. Bila kita belok kiri, akan terus ke Batusangkar, dan disinipun cukup banyak objek wisata yang bisa dikunjungi, seperti panorama Tabek Patah, Ustano Pagaruyung, Batu Basurek, dan juga bisa menuju Panorama Puncak Pato untuk melihat daerah Sungayang dari ketinggian.
Namun karena kendaraan yang penulis bawa belok kanan, tak lama kemudian terlihat hamparan air yang membiru berkilauan bak mutiara yang sedang dijemur. Amboi, betapa tenangnya perasaan memandang ciptaan Allah SWT.
Kami mulai menyisir jalan raya yang berada pinggir danau, menghubungkan Padangpanjang dengan Solok Kami berhenti sejenak di sebuah kios penjualan ikan di pinggir danau untuk membeli ikan bilih yang sangat gurih untuk dinikmati itu. Penulis beli cukup banyak, karena selain dimaksudkan sebagai oleh-oleh untuk teman di Jakarta karena dua hari lagi akan ke Jakarta, juga untuk dibawa pulang.
Bagi anda orang Sumbar, ikan bilih mungkin sudah tidak asing lagi mendengarnya. Ikan bilih adalah adalah sejenis ikan purba berukuran kecil khas Danau Singkarak yang populasinya semakin menyusut mengikuti menurunan permukakan air danau Singkarak, akibat airnya tersedot untuk kebutuhan proyek PLTA yang menggunakan air Danau tersebut beroperasi. Di danau Maninjau sendiri, juga ada cirri-ciri khas makanan yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh, yakni ikan rinuak.
Selama berada di kawasan pinggiran danau Singkarak ini, penulis cukup puas bermain-main. Bila badan terasa gerah setelah puas bersampan-sampan hingga ke tengah danau dengan menggunakan sampan sewaan, kita bisa mandi-mandi di pinggir danau dengan sepuas-puasnya. Airnya yang jernih dan sejak, membuat kita menjadi betah berlama-sama berendam atau berenang. Bunyi kecipak riak air danau yang mengempas ke pasir di pinggir danau, juga menambah suasana menjadi mengasyikkan.
Mungkin disebabkan lelah berenang atau memang disebabkan bau pangek bilih yang menggoda, menyebabkan penulis memutuskan untuk menikmati masakan ikan tersebut pada sebuah lepau nasi yang ada di pinggir danau itu. Lezatnya pangek ikan bilih tersebut, membuat penulis dan teman makan dengan lahapnya.
Rasanya perjalanan satu hari penuh dari Bukittinggi, Padang Panjang dan menyaksikan indahnya suasana di danau Singkarak, memang menyimpan suatu kenangan tersendiri dalam sanubari penulis. Suatu kenangan yang sulit untuk dilupakan begitu saja.
Dan dalam perjalanan menuju Kota Padang melewati Solok, penulis masih disuguhkan dengan berbagai panorama yang menakjubkan, terutama sekali ketika sampai diperbatasan kabupaten Solok dengan Kota Padang. Kerlap-kerlip lampu di Kota Padang waktu senja, terlihat begitu indahnya. (Aditya)